Sumber: Facebook Filosofi Kopi Movie |
Meski film perdana Filosofi Kopi belum berhasil menembus
angka 300.000 penonton, beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri
berhasil dikantongi. Penulis skenario adaptasi terbaik (Jenny Jusuf) untuk
Festival Film Bandung 2015, Piala Maya (2015), Festival Film Indonesia (2015;
penyunting gambar terbaik (Ahsan Andrian) Festival Film Indonesia (2015); Movie
of the Year di Indonesian Choice Awards (2016); dan Best Ensemble Performance
di World Premieres Film Festival (Filipina, 2015).
Berselang dua tahun, Visinema Pictures memproduksi sekuel
dari film adaptasi cerpen Dewi ‘Dee’ Lestari ini. Tentu penonton berekspektasi
cukup tinggi karena pendahulunya bisa dibilang cukup berhasil mengadaptasi
cerita khayalan ke dalam format audio visual yang baik. Ditambah promosi yang
gencar jauh-jauh hari sebelum film dirilis, seperti kompetisi cerita, Filosofi
Kopi The Series di Youtube, drama radio hingga mengaransemen lagu Sahabat
Sejati milik Sheila on 7 yang dinyanyikan Chicco Jerikho dan Rio Dewanto.
Filosofi Kopi 2: Ben & Jody dibuka dengan adegan pemilik
dan barista kedai Filosofi Kopi sedang bersenang-senang di Gumuk Pasir
Parangkusumo, Yogyakarta. Impresi awal yang membuat optimis bahwa film ini
sesuai dengan ekspektasi. Jika film pertama bercerita tentang pencarian Ben (Chicco
Jerikho) terhadap racikan kopi yang sempurna sementara di sekuelnya, Ben yang
berkeliling menjual kopi dengan VW Combi bertingkat ingin kembali mendulang sukses di lokasi
kedai yang pertama. Jelas bahwa re-branding
dari kedai keliling ke lokasi permanen membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Konflik demi konflik pun bermunculan.
[Waspada spoiler]
Barista lama kedai Filosofi Kopi, yaitu Nana (Ni Made
Westny), Aga (Muhammad Aga) dan Aldi (Aufa Dien Assagaf), mendadak mengundurkan
diri. Sama seperti di film pertama, latar belakang barista pendukung diabaikan.
Cerita mereka diakselerasi dengan Nana yang hamil saat bertugas serta Aga dan
Aldi yang mendapat investasi dari kerabat untuk membuka kedai sendiri. Berkeliling
dengan VW Combi katanya bukan mimpi para peramu kopi laki-laki. Adegan untuk
mendukung motivasi ini pun tidak ada.
Umpatan kasar wajar jika sesuai kebutuhan. Disayangkan ada
beberapa kata yang diciptakan dan diucapkan tetapi tidak familiar dengan
penonton. Seperti kata gondrong yang
merujuk pada perempuan dan kata cibai untuk
makian yang sering digunakan oleh Jody (Rio Dewanto).
Dalam satu jam pertama, nyawa perbincangan antara Ben dan
Jody seperti belum sepenuhnya menyatu. Terasa kaku. Dengan para cameo seperti Ernest Prakarsa, Joko
Anwar, Melissa Karim, Tio Pakusadewo dan Andreuw Parinussa malah terasa lebih
natural. Memasuki jam berikutnya, cerita baru terasa mengalir dan lebih dapat
dinikmati. Beberapa bagian menjadi lebih kuat ketika mendapat sentuhan
musik-musik folk dengan tata suara
yang menghanyutkan penonton. Sangat mengapresiasi pada tiap pilihan musik dari
sederet musisi lokal berkualitas seperti Open Road - Gede Robi (Navicula), Zona
Nyaman dan Aku Tenang – Fourtwnty, Hari Terakhir Peradaban – Farid Stevy, Derai
Terindah – Suar Nasution, dan dua lagu yang paling membuat haru--lagu berjudul
Coffee yang dibawakan oleh Leanna Rachel dan Yang Patah Tumbuh, yang Hilang
Berganti dari Banda Neira.
Lapisan-lapisan cerita dalam film ini sesungguhnya menarik. Terselip
isu sosial di dalamnya, seperti sengketa antara pemilik kebun kopi dengan
perusahaan kelapa sawit (terkait dengan Filosofi Kopi 1) dan pemulihan kebun
kopi di kaki Gunung Merapi yang sempat hancur akibat erupsi. Hanya saja, rajutannya
saja terasa kurang rapi. Seperti Jody yang menyimpan rasa terhadap investor
Tarra (Luna Maya), padahal sepanjang cerita tidak ada indikasi asmara di antara
mereka berdua. Indikasi yang jelas terlihat dari Ben ke Tarra. Kemudian, Ben
yang tiba-tiba dekat dengan Brie (Nadine Alexandra Dewi) akibat konflik dengan
Tarra. Konflik antara Ben Jody dan Tarra juga terselesaikan dengan sekejap
tanpa ada resolusi konflik yang signifikan.
Film garapan Angga Dwimas Sasongko ini terasa berjarak
dengan penonton awam yang bukan coffee
enthusiast. Seperti saat berada di kebun kopi, petani berujar bahwa kopi
yang ditunjukkan adalah jenis Typica
dan Juria. Varietas tunggal dari kopi
Arabika dengan cita rasa yang khas. Mungkin penulis skenario memiliki misi
tersendiri menyelipkan kedua varietas ini, namun apakah penonton awam mengerti?
Sementara, antara kopi Arabika dan Robusta saja masih ada yang belum bisa
membedakan. Berbeda dengan ujaran seperti “Kopinya asam, basi ya?” atau “Pesen latte art, ngabisin Wi-Fi!” yang lebih dekat dengan keseharian.
Misi lain yang dapat ditangkap dari film ini adalah promosi
gerai-gerai kopi lokal yang memang layak untuk dikunjungi. Terdapat angkringan
khas Jogja yang menyediakan kopi joss atau
kopi yang dicampur arang. Kedai kopi legendaris seperti kedai Kopi Es Tak Kie
sejak tahun 1927 di kawasan Petak Sembilan, Jakarta dan Kopi Ujung di Jalan
Somba Opu, Makassar yang beroperasi sejak 1930. Tampak juga gerai kopi masa kini seperti
Coffeesmith yang dikelola oleh Muhammad Aga, Goni Coffee dan Caswell's Coffee
yang ketiganya terletak di Jakarta Selatan.
Secara keseluruhan, film yang rilis 13 Juli 2017 lalu, layak
untuk dinikmati para pecinta kopi. Mengangkat kekayaan kopi nusantara yang
dibalut dengan lika-liku persahabatan dan cinta muda-mudi ibukota.
No comments:
Post a Comment